Utang Luar Negeri Semakin Membengkak, Legislator PKS: Pengendalian Utang di Masa Depan Bakal Sulit
Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia tembus US$422,6 miliar per akhir Februari 2021 atau setara Rp 6.164,46 triliun (kurs Rp14.587 per dolar AS). Posisi itu naik 4 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 2,7 persen (yoy). Angka ini menunjukkan utang luar negeri Indonesia semakin membengkak. Prof Dr Didik J Rachbini dari Indef memperkirakan Jokowi bakal mengakhiri pemerintahannya di 2024 dengan meninggalkan utang 10.000 juta dolar AS.
Didik tidak mengkhawatirkan utang sebesar itu asalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7 persen sampai Jokowi mengakhiri pemerintahannya. Namun, pertumbuhan ekonomi pada masa normal saja maksimal hanya 5,6 persen. Bahkan pada masa pandemi ini pertumbuhan malah minus. Terkait hal ini, anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati mengatakan pihaknya sudah sering menyoroti dan juga mengingatkan pemerintah terkait utang yang makin membengkak. Akan tetapi, kenyataan yang dihadapi Indonesia sekarang adalah defisit APBN melebar, utang melambung, tapi Pemerintah gagal membelanjakan utang.
“Ini bisa terlihat dari adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2% (2019) menjadi 6,3% (2020) dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7% di tahun 2021,” ujar Anis, kepada wartawan, Senin (3/5/2021). Wakil Ketua Badan AKuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menjelaskan bahwa memang defisit adalah langkah normal di saat resesi. Namun tetap diperlukan kehati hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini. Apalagi, kata dia, sebagian besar defisit APBN dibiayai oleh utang. “Artinya semakin lebar defisit, maka utang juga semakin besar,” jelas Anis.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini menambahkan bahwa untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang seringkali terjadi adalah Pemerintah justru gagal membelanjakan utang tersebut. Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp 10 30 Triliun setiap tahunnya. Lebih lanjut, Anis menegaskan pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN sempat tersendat diawal awal, lalu digesa di akhir tahun.
Realisasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sampai dengan akhir 2020 tercatat Rp579,78 triliun atau 83,4% dari pagu sejumlah Rp695,2 triliun. "Hal ini tentu akan merugikan, karena utang yang sudah ditarik tetapi tidak maksimal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” tutur Anis. Selama beberapa tahun terakhir primary balance Indonesia juga selalu tercatat negatif. Ketika primary balance negatif artinya Pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang. Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama.
"Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” imbuhnya. Selain itu, Anis mengingatkan bagi pemerintah khususnya Menteri Keuangan, ketika masa pra pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24% (2014) menjadi 30,2% (2019). Menurutnya, peningkatan debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang Pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional. Pada tahun 2020, debt to GDP ratio diperkirakan mencapai 37% dan terus meningkat menjadi 41% pada tahun 2021.
"Ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” pungkasnya.